Untung Rugi Golkar di Koalisi Pendukung Jokowi

untung dan rugi Partai Golkar memutuskan mendukung Jokowi


intriknews.com Jakarta - Idiom bahwa Partai Golongan Karya selalu berada di pusat kekuasaan akhirnya tak jadi terpatahkan. Sejak berdiri pada 20 Oktober 1964 lalu partai berlambang pohon beringin itu nyaris tak pernah berada di luar kekuasaan.

Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, Golkar menjadi penopang utama pemerintahan mendiang Presiden Soeharto. Selepas Orde Baru tumbang pada 1998, Golkar sempat akan terlempar dari pusat kekuasaan.

Itu terjadi pada tahun 2004 ketika Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung. Saat itu muncul perpecahan di tubuh Golkar yang disebabkan oleh perbedaan dukungan untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Pada Pilpres 2004 sikap resmi Partai Golkar adalah memberikan dukungan untuk pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid. Pasangan ini kalah dan tak bisa melaju ke pilpres tahap kedua.

Di Pilpres 2004 tahap kedua, Golkar memberikan dukungan untuk pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Padahal di pihak lawan ada kader Golkar yakni Jusuf Kalla yang menjadi calon Wakil Presiden dari Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Golkar di bawah Akbar Tandjung tak mau bergabung dengan koalisi pendukung pemerintahan. Akbar membawa Golkar bergabung dengan PDI Perjuangan sebagai oposisi di parlemen.

Namun peta berubah, ketika Jusuf Kalla yang juga Wakil Presiden berhasil merebut kursi Ketua Umum Partai Golkar. Di bawah Jusuf Kalla, Golkar kembali ke pusaran kekuasaan. Kader-kader Golkar menempati posisi penting di kabinet, parlemen dan lembaga negara.

Dan partai beringin pun selama kurun waktu 2004 sampai 2009 berhasil menjalani sejumlah peran sentral di pusat kekuasaan. Di parlemen Golkar menguasai mayoritas kursi yang menjadikan partai ini memiliki nilai tawar tinggi.

Sejarah seperti berulang di Pilpres 2014. Suara Golkar terbelah ada kubu Agung Laksono yang mendukung Jokowi-JK, ada juga kubu Aburizal Bakrie (Ical) yang berada gerbong oposisi bersama Partai Gerindra dan Koalisi Merah Putih.

Namun itu hanya berlangsung tak lebih dari 1,5 tahun. Rapat pimpinan nasional Partai Golkar kubu Ical awal pekan ini memutuskan keluar dari KMP dan bergabung dengan koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK.

Ical menyusul rival separtainya Agung Laksono yang terlebih dulu membawa sebagian ruh Golkar ke koalisi pendukung pemerintahan. Dan jika skenario tak berubah, kubu Agung Laksono dan kubu Ical berencana menggelar Munas untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Partai Golkar.

Munas akan menghasilkan ketua umum baru yang membawa Golkar utuh mendukung pemerintahan Jokowi-Kalla. Golkar pun akan kembali berada di pusaran kekuasaan.

Dengan pengalaman hampir separuh abad berada di pusat kekuasaan, Partai Golkar akan mendapatkan keuntungan lebih banyak ketimbang PDI Perjuangan. Syaratnya politikus Golkar bisa memerankan fungsi politiknya dengan lihat dan baik.

Dalam dua tahun ke depan banyak agenda yang bisa dimanfaatkan oleh Partai Golkar. Antara lain pembahasan revisi undang-undang tentang pemilihan legislatif, UU Pilpres dan juga Undang-undang tentang Partai Politik.

Pembahasan revisi tiga undang-undang itu akan menjadi pertarungan antar partai politik di DPR. Politikus di DPR tentu akan memperjuangkan peraturan yang menguntungkan partainya. Misalnya, peraturan soal pembagian daerah pemilihan, bilangan pembagi pemilih juga soal parlementary dan presidensial treshold.

Dalam hal ini banyak kader Golkar yang memiliki kemampuan lobi dan bisa diandalkan untuk 'bertarung' di DPR. Ditambah lagi dengan bergabung ke koalisi pendukung pemerintah, posisi tawar Partai Golkar akan lebih tinggi.

Di luar parlemen posisi Golkar juga tak bisa dikesampingkan. Meski belum tentu mendapatkan kursi di kabinet, tentu dukungan Golkar ke pemerintahan Jokowi tak gratis.

Golkar masih berpeluang mendapatkan kursi di lembaga pemerintahan. Apalagi di barisan koalisi pendukung Jokowi-JK, kekuatan Partai Golkar di DPR berada di urutan kedua yakni 91 di bawah PDI Perjuangan dengan 109 kursi.

Semua keuntungan itu akan didapat Golkar jika kadernya mampu menjalankan peran politiknya dengan baik. Sebaliknya jika peran itu gagal dijalankan, Golkar akan menderita kerugian.

Kerugian pertama, idiom Golkar sebagai partai manja yang selalu berada di pusat kekuasaan tak bisa terpatahkan. Selama ini Golkar diidentikkan dengan partai yang hanya bisa hidup ketika berada di pusaran kekuasaan.

Dengan berada di barisan oposisi sebenarnya menjadi kesempatan bagi Golkar untuk membuktikan bahwa dia bisa menjadi penyeimbang bagi pemerintah. Oposisi di parlemen diperlukan untuk mengontrol kebijakan pemerintah.

Bila Golkar berhasil menjalankan fungsi sebagai oposisi dan mampu menjadi pengontrol yang baik bagi pemerintah, bukan tak mungkin simpati masyarakat akan bertambah. Penilaian masyarakat bahwa Golkar selalu identik dengan kadernya yang selalu memburu kekuasaan bisa berubah.

Namun ketika Golkar memilih berada di barisan koalisi pendukung Jokowi, kesempatan untuk membuktikan sebagai partai yang bisa hidup di luar kekuasaan hilang. Paradigma masyarakat bahwa Golkar hanya mencetak kader yang sibuk memburu kekuasaan tak akan berubah.

Kerugian itu bisa ditutup bila Golkar ke depan mulai memikirkan cara untuk memperbaiki citranya yang terpuruk akibat konflik berkepanjangan antara kubu Agung dan kubu Ical.

Tak bisa dipungkiri, selama 1,5 tahun dilanda konflik, citra politik Golkar kian terpuruk. Ironinya Golkar tak mengerahkan tim media untuk membendung berita negatif akibat konflik. Golkar harus mulai mengerahkan kembali tim media untuk memulihkan citranya.

Pilihan kembali kepada Golkar, apakah akan mengembalikan kejayaan seperti masa Orde Baru, atau terpuruk menjadi partai dengan perolehan suara satu digit alias di bawah 10 persen.


Penulis: Erwin Dariyanto 

0 Response to "Untung Rugi Golkar di Koalisi Pendukung Jokowi"

Posting Komentar