Kepada Redaksi Piyungan
Assalamualaikum warahmatullah...
Ayah saya adalah seorang pegawai BUMN, untuk melindungi privasi beliau saya tak sebut namanya. Beliau lahir tahun 1964 di Pekalongan dari keluarga NU. Sejak kecil ia sering mengaji di pesantren-pesantren dan pengajian milik orang arab Pekalongan.
Bukan bermaksud menyombongkan, saya diceritakan beliau bahwa sejak kecil ia sudah tertarik pada dakwah. Beliau ingat ketika dulu ayahnya yang camat mengajaknya kampanye golkar (dulu PNS & keluarga wajib pilih golkar, diabsen ), ia menurut. Tidak seperti pemuda dakwah sekarang yang "jagoan" berani membantah orang tua, meski dengan dalih si orangtua salah. Tapi pasca kampanye golkar, ia ganti jaket PPP dan ikut kampanye PPP, meski pilihan juga golkar.
"Sampaikanlah walau satu ayat", itu prinsip ayah saya. Kalau tidak bisa dukung dakwah (waktu itu PPP) di pemilu, dukunglah dengan tenaga (kampanye).
Lalu karena suatu hal, kakek saya dicopot dar jabatan camat dan kembali hidup kekurangan. Tapi ayah saya tetap gigih, ia lalu mencoba masuk UGM dan alhamdulillah diterima. Disinilah persentuhan beliau dengan dakwah, ia sering ikuti organisasi-organisasi kampus. Bahkan ia pernah kenal dekat dengan pak Muhaimin Iskandar dan Romahurmuziy, sampai sekarang masih kontak-kontakan.
Tapi ayah memilih jalan yang sedikit berbeda, ia ikut teman-temannya berdakwah keliling Jogja. Maklum, tidak semua sudah paham islam. Nah disinilah ketidaksukaan beliau dengan militer dimulai.
Pernah suatu saat (di zaman orba) ayah saya dan teman-temannya ke kampung dan berikan pengajian. Sialnya, lupa izin ke koramil setempat, dan ada warga yang "curiga" dengan mereka lapor ke TNI. Dipanggilah mereka, dan ditahan semalaman di koramil. Ada 1 temannya yang sedikit "nyolot", dan ia ditelanjangi lalu direndam di bak semalaman oleh oknum TNI tersebut.
Sejak itulah ia kurang simpati terhadap militer. Apalagi dulu mau adakan acara dakwah susah kalau tak izin pemerintah, seperti kucing-kucingan loncat dari masjid ke masjid dan tentu dipantau juga.
Sampailah ia lulus dan diterima di BUMN. Tentu, pemilu tetap diabsen. Tetap pula karyawan pemerintah wajib ramaikan kampanye golkar. Tapi ia tetap condong kepada dakwah.
Pasca reformasi dan memilih dibebaskan, dari sekian banyak partai mengaku islam ia pilih Partai Keadilan.
"Orangnya sedikit, tapi berani dan cerdas. Mana ada di partai lain ketua cabang kabupaten gelarnya Doktor, mana ada di partai islam lain (waktu itu) yang terang-terangan kader perempuannya pakai kerudung lebar," itulah cerita ayah pada saya mengapa ia pilih PK.
Ayah saya dulu tugas di Sumsel, jadi tak pernah ikut kampanye PK yang waktu itu masih di perkotaan. Tapi ia tetap pilih PK, dan menurut cerita beliau ia menjadi pemilih PK satu-satunya di TPS-nya. Ia kagum dengan PK, yang meski waktu itu termasuk yang ditawari macam-macam tapi tak bergeming, dan ia tahu dari temannya bahwa ustad Nurmahmudi menerima jabatan menteri hanya demi dakwah.
Saat PK bertransformasi menjadi PKS, ia juga mengikuti. Apalagi saat HNW jadi presiden, ia ikuti HNW dan PKS yang pilih Amien Rais (pilpres 2004). Pun saat kemudian HNW putuskan SBY yang didukung (putaran 2), ayah ikuti, meski dengan rasionalitas bahwa HNW sebagai pentolan orang lama pasti tak akan bawa dakwah ke lubang biawak, juga bahwa SBY dulu termasuk "militer hijau".
Disaat 2009 ia juga ikuti PKS pilih SBY, meski sedikit kecewa bukan PKS yang dipilih dampingi SBY (sebagai wapres). Saat pilwali kota bekasi, ia ajak kami sekeluarga pilih Effendi-Syaikhu, meski di kemudian hari ia cerita kurang simpati dengan Effendi.
Saat kasus LHI muncul, ia tak percaya. Baginya, terlalu banyak kejanggalan. Dari penangkapan pun seperti serangan kilat yang musuh tak diberi kesempatan berpikir.
Saat pilgub Jabar 2013, ditengah rekan kerjanya yang memilih Dede Yusuf, ia istiqomah pilih Aher. Dan pemilu 2014 ayah-lah yang perkenalkan PKS pada kami, dan berhasil bujuk ibu saya untuk tetap pilih PKS, meski narasi media yang sebut PKS "tidak ramah ibu-ibu" (karena poligami).
Akhirnya Kecewa dengan PKS
Namun setelah itu dan saat PKS di Pilpres akhirnya pilih dukung Prabowo, ayah heran, kecewa berat. Prabowo dkk sampai saat itu terkenal "jendral kiri" yang keras, narasi Prabowo yang kelewat nasionalis juga mungkin membuat ayah takut.
Ditambah, omongan orang-orang di kantornya yang sebut Prabowo akan kembalikan Indonesia ke Orde Baru (orba). Bahkan, bisa jadi kembalikan Indonesia ke era Soekarno, yang dimana-mana dikepung asing, membuat bisnis jadi kacau. Maklum, ia di BUMN minyak. Ditambah, selentingan bahwa posisi-posisi akan diberikan untuk para jenderal, serta kritik akan dipersepsikan sebagai pengkhianatan. Belum lagi catatan Prabowo yang kontroversial soal HAM, lengkap sudah keengganannya pilih prabowo.
Ia juga khawatir jika pimpinan PKS dalam memilih Prabowo karena disilaukan oleh 'mahar', seperti yang dulu diributkan saat pilpres.
Justru saya yang baru diperkenalkan oleh ayah pada PKS yang sayangkan sikap ayah saya yang memilih Jokowi. Tapi beliau yakin, Jokowi yang selama di Solo disebut walikota idaman akan perhatikan semua.
Realita Jokowi Menyadarkan
Sampailah saat Jokowi dinyatakan menang. Waktu berlalu, dan mulailah ayah dikecewakan. Sejak Jokowi angkat orang "bercatatan" seperti Rini menjadi menteri BUMN, ayah sudah heran. Seharusnya profesional yang duduki kursi itu, seperti salah satu janji Jokowi.
Makin kesini, makin aneh kata beliau. Rupiah yang melemah malah disebut bagus, padahal itu membuat impor minyak bertambah berat. Ditambah opsi jokowi yang memilih impor dari Angol.
Lalu soal agama, ia terkejut ibu negara yang dulu dikira sudah "mulai" berjilbab ternyata melepas lagi. Padahal, dulu ia diminta temannya pilih Jokowi karena istri prabowo yang disebut "nggak jelas" dan tak mau berjilbab.
Lalu, menkopolhukam, mendikbud dan menag yang sering bikin blunder. Mulai masalah doa di sekolah, mulai terlihatnya pengaruh Syiah, hingga masalah Tolikara membuatnya terkejut, karena perlakuan Jokowi jauh panggang dari api, bukan membuat tentram malah seperti memanfaatkan.
Ayah juga kecewa, ternyata banyak pemanfaatan hukum yang dikira akan dilakukan Prabowo justru dilakukan jokowi. Dulu ia ingat PDI-P jadi korban orde baru, dan yakin korban tak mungkin menjelma jadi pelaku. Ternyata, PPP dan Golkar malah dibelah. PSSI dibekukan.
Puncak kekecewaan ayah adalah pasal karet penghinaan presiden yang di masa orde baru jadi senjata ampuh untuk tidak "menyinggung bapak presiden" malah akan dihidupkan lagi oleh Jokowi.
Sedang Prabowo yang ditakuti karena dari militer, ayah justru kagum saat dikira Prabowo akan ngambek selamanya setelah kalah pilpres, ia malah datang ke pelantikan dan beri hormat pada Jokowi.
Prabowo yang dikira akan terus berkoar-koar selayaknya jendral, justru jadi santun terhadap Jokowi. Prabowo yang dikira akan seperti tentara umumnya yang utamakan 'kehormatan' bila dikhianati (Jokowi yang dibawa Prabowo ke Jakarta untuk jadi gubernur akhirnya 'khianati' Prabowo dengan menjadi lawan Prabowo di pilpres), justru ayah lihat sendiri datang ke istana berikan dukungan moril untuk Jokowi yang saat itu "diserang" kubunya sendiri (KIH).
Namun, tetap saja masalah pasal penghinaan presiden itu yang jadi alasan ayah "paham" mengapa PKS pilih Prabowo. Karena Jokowi bukan saja secara tak langsung ciptakan kondisi yang mempersulit dakwah (dengan bebaskan liberal, islam "gaya baru" dsb ) tapi juga ternyata inginkan pasal yang menjadi salah satu "tameng" Soeharto dulu dalam hadapi kritik, termasuk kelompok islam.
Ya, nasi sudah menjadi bubur, begitu kata ayah saya. PKS yang dulu ia khawatirkan terima mahar dalam pilpres, ternyata memang berpikir panjang untuk nasib dakwah.
Sebagai simpatisan lama yang sekarang lebih aktif dibidang profesional, beliau hanya berharap PKS tidak teralihkan dalam bersikap. Menurut ayah, banyak memang orang lama yang sudah tidak "kumpul" terkesan kecewa dengan PKS. Tapi yakinlah, dibalik itu mereka simpan harapan dan doa untuk PKS.
(NB : Oh iya, ayah saya juga berterimakasih sudah membuka Polling Kandidat Ketua Majelis Syuro PKS. Paling tidak, orang biasa bisa menyalurkan aspirasinya. Mungkin bagi banyak orang itu biasa saja, bahkan tak penting. Tapi menurut ayah ini jadi cara unik untuk sampaikan pendapat. Ayah saya juga berseloroh polling majelis syuro adalah muktamar online PKS, jadi perbedaan pasti ada hehehe :D).
0 Response to "Kecewa PKS Pilih Prabowo, Ayah Saya Sekarang Sadar Telah Salah Pilih Jokowi"
Posting Komentar